Minggu, 29 April 2012

sumber hukum formal


Sumber Hukum Formil/Formal.
Sumber  hukum  formal   adalah  sumber   hukum   ditinjau  dari  segi  pembentukannya.
Dalam  sumber  hukum  formal  ini  terdapat  rumusan  berbagai  aturan  yang  merupakan  dasar
kekuatan  mengikatnya  peraturan  agar  ditaati  masyarakat  dan  penegak  hukum.  Atau  dapat
juga dikatakan bahwa sumber hukum  formal merupakan causa efficient  dari  hukum.  
Sumber  hukum  formil  merupakan  tempat  atau  sumber  dari  mana  suatu  peraturan
memperoleh  kekuatan  hukum.  Ini  berkaitan  dengan  bentuk  atau  cara  yang  menyebabkan
peraturan  hukum  itu   formal  berlaku.  Pendapat  lain  mengatakan  bahwa  sumber  hukum
dalam  arti  formal  sebagai  sumber  berasalnya  kekuatan  mengikat  dan  validitas.  Hukum  yang
dibuat  oleh  negara  sumber-sumber  hukum  dalam  arti  formal.  Sumber-sumber  yang  tersedia
dalam  formulasi-formulasi  tekstual  yang  berupa  dokumen-dokumen  resmi  adalah  sumber
hukum dalam arti formal.
Sumber hukum dalam arti formal ini secara umum dapat dibedakan menjadi:
1. Undang-undang (statute)
2. Kebiasaan dan adat (custom)
3. Traktat (treaty) atau perjanjian atau konvensi internasional.
4. Yurisprudensi (case law, judge made law)
5. Pendapat ahli hukum terkenal (doctrine).
Dalam   mempelajari   sumber   hukum   formal   ini,   sering   kali   lupa   bahwa   masih   ada
sumber  hukum  penting,  khususnya  di  bidang  hukum  tata  negara  di  samping  sumber  hukum
formal   di   atas,   yaitu   proklamasi   dan   revolusi   kemerdekaan,   coup   d’etat   yang   berhasil,
takluknya suatu negara kepada negara lain.
Menarik  untuk  dikaji  lebih  mendalam  adalah  perbedaan  sumber  hukum  yang  dianut
oleh  dua   sistem  hukum   besar   dunia.   Kedua   sistem  tersebut  adalah   sistem  civil  law  dan
sistem  common  law.  Sumber-sumber  hukum  di  negara-negara  penganut  sistem  common
law   hanya   yurisprudensi   (judge   made   law   di   Inggris,   case   law   di   AS)   dan   perundang-
undangan  (statute  law).  Sementara  itu  di  negara-negara  penganut  sistem  civil  law  sumber
hukum  dalam  arti  formilnya  berupa  peraturan-perundang-undangan,  kebiasaan-kebiasaan
dan yurisprudensi.
Secara  spesifik  di  Indonesia,  Pasal  2  Nomor  12  Tahun  2011  tentang  Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU P3) menyebutkan “Pancasila merupakan sumber segala
sumber  hukum  negara”.  Maksudnya  adalah  bahwa  penempatan  Pancasila  sebagai  sumber
dari  segala  sumber  hukum  negara  adalah  sesuai  dengan  Pembukaan  Undang-Undang  Dasar
Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  alinea  keempat  yaitu  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa,
Kemanusiaan  yang  adil  dan  beradab,  Persatuan  Indonesia,  Kerakyatan  yang  dipimpin  oleh
hikmat  kebijaksanaan  dalam  Permusyawaratan/Perwakilan,  dan  Keadilan  sosial  bagi  seluruh
rakyat  Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai  dasar dan ideologi  negara serta sekaligus
dasar  filosofis  negara  sehingga  setiap  materi  muatan  Peraturan  Perundang-undangan  tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Dalam   Pasal   7   ayat   (1)   UU   P3   disebutkan   bahwa   hierarki   peraturan   perundang-
undangan di Indonesia terdiri atas:
1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.    Peraturan Pemerintah;
5.    Peraturan Presiden;
6.    Peraturan Daerah Provinsi; dan
7.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dilanjutkan   dalam   Pasal   8   ayat   (1)   UU   P3   bahwa   Jenis   Peraturan   Perundang-
undangan  selain  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  7  ayat  (1)  mencakup  peraturan  yang
ditetapkan     oleh    Majelis    Permusyawaratan     Rakyat,    Dewan    Perwakilan    Rakyat,    Dewan
Perwakilan  Daerah,  Mahkamah  Agung,  Mahkamah  Konstitusi,  Badan  Pemeriksa  Keuangan,
Komisi  Yudisial,  Bank  Indonesia,  Menteri,  badan,  lembaga,  atau  komisi  yang  setingkat  yang
dibentuk  dengan  Undang-Undang  atau  Pemerintah  atas  perintah  Undang-Undang,  Dewan
Perwakilan     Rakyat   Daerah      Provinsi,   Gubernur,   Dewan   Perwakilan   Rakyat           Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Keberadaan  peraturan  Perundang-undangan  tersebut  di  atas  diakui  keberadaannya
dan    mempunyai     kekuatan     hukum     mengikat     sepanjang     diperintahkan     oleh    Peraturan
Perundang-undangan   yang   lebih   tinggi   atau   dibentuk   berdasarkan   kewenangan   (Pasal   8
ayat (2) UU P3).

subjek dan objek hukum

Subyek Hukum
Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia dan badan hukum.
1. Manusia (naturlife persoon)
Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain.
2. Badan Hukum (recht persoon)
Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dann kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.


Obyek Hukum
Obyek hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi hak dari subyek hukum. Atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek suatu perhubungan hukum. Obyek hukum dapat pula disebut sebagai benda. Merujuk pada KUHPerdata, benda adalah tiap-tiap barang atau tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.
Benda itu sendiri dibagi menjadi :
1. Berwujud / Konkrit
a. Benda bergerak
- bergerak sendiri, contoh : hewan.
- digerakkan, contoh : kendaraan.
b. Benda tak bergerak, contoh tanah, pohon-pohon dsb.

Minggu, 04 Maret 2012

kasus hukum perdata


Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)

Jika benihnya berasal dari Suami Istri
· Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
· Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum ps. 255 KUHPer.
· Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan ps. 1320 dan 1338 KUHPer.)

Jika salah satu benihnya berasal dari donor

· Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum ps. 250 KUHPer.
· Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer.

Jika semua benihnya dari donor

· Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
· Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai anaknya.

Dari tinjauan yuridis menurut hukum perdata barat di Indonesia terhadap kemungkinan yang terjadi dalam program fertilisasi-in-vitro transfer embrio ditemukan beberapa kaidah hukum yang sudah tidak relevan dan tidak dapat meng-cover kebutuhan yang ada serta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada khususnya mengenai status sahnya anak yang lahir dan pemusnahan kelebihan embrio yang diimplantasikan ke dalam rahim ibunya. Secara khusus, permasalahan mengenai inseminasi buatan dengan bahan inseminasi berasal dari orang yang sudah meninggal dunia, hingga saat ini belum ada penyelesaiannya di Indonesia. Perlu segera dibentuk peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur penerapan teknologi fertilisasi-in-vitro transfer embrio ini pada manusia mengenai hal-hal apakah yang dapat dibenarkan dan hal-hal apakah yang dilarang.

HUKUM PERDATA DI INDONESIA


HUKUM PERDATA DI INDONESIA DAN SEJARAH NYA

Perkataan “hukum perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum “privat materiil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Perkataan “perdata” juga lazim dipakai sebagai lawan dari “pidana”.
Ada juga orang memakai perkataan “hukum sipil” untuk hukum privat materiil itu, tetapi karena perkataan “sipil” itu juga lazim dipakai sebagai lawan dari “militer”, maka lebih baik kita memakai istilah “hukum perdata” untuk segenap peraturan hukum privat materiil.
perkataan “hukum perdata”, adakalnya dipakai dalam arti yang sempit, sebagai lawan “hukum dagang”, seperti dalam pasal 102 Undang-undang Dasar sementara, yang menitahkan pembukuan (kodifikasi) hukum di negara kita ini terhadap Hukum perdata dan Hukum Dagang, Hukum Pidana Sipil maupun Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana, dan Susunan serta kekuasaan pengadilan.
Hukum Perdata di Indonesia, ber-bhineka yaitu beraneka warna.
pertama, ia barlainan untuk segala golongan warga negara :
1.     untuk golongan bangsa Indonesia asli, berlaku “Hukum Adat”, yaitu hukum yang sejak dulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam kehidupan masyarakat
2.     untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropah belaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dengan pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai Burgerlijk Wetboek tersebut ada sedikit pentimpangan yaitu bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula “Burgerlijke Stand” tersendiri. selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam Burgerlijke Wetboek.
Akhirnya untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan barasal dari Tionghoa atau Eropah (yaitu : Arab, India dan lain-lain) berlaku sebahagian dari Burgerlijke Wetboek, yaitu pada pokoknya hanya bagian-bagian yang mengenai hukum kekayaan harta benda (vermogensrecht), jadi tidak yang mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan (personen en familierecht) maupun yang mengenai hukum warisan. Mengenai bagian-bagian hukum yang belaknagan ini, berlaku hukum mereka sendiri dari negara asalnya.

Sejarah membuktikan bahwa hukum perdata yang saat ini berlaku di Indonesia tidak lepas dari sejarah hukum perdata eropa. Di eropa continental berlaku hukum perdata romawi, disamping adanya hukum tertulis dan hukum kebiasaan tertentu.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah hukum perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “ Code Civil de Francis” yang juga dapat disebut “Cod Napoleon”.
Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini digunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothis. Disamping itu juga dipergunakan hukum bumi putera lama, hukum jernoia dan hukum Cononiek. Code Napoleon ditetapkan sebagai sumber hukum di belanda setelah bebas dari penjajahan prancis.
Setelah beberapa tahun kemerdekaan, bangsa memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari hukum perdata. Dan tepatnya 5 juli 1830 kodivikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dn WVK (Wetboek Van Koopandle) ini adalah produk nasional-nederland yang isinya berasal dari Code Civil des Prancis dari Code de Commerce.