Sumber Hukum Formil/Formal.
Sumber hukum formal adalah sumber hukum ditinjau dari segi pembentukannya.
Dalam sumber hukum formal ini terdapat rumusan berbagai aturan yang merupakan dasar
kekuatan mengikatnya peraturan agar ditaati masyarakat dan penegak hukum. Atau dapat
juga dikatakan bahwa sumber hukum formal merupakan causa efficient dari hukum.
Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan
memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan
peraturan hukum itu formal berlaku. Pendapat lain mengatakan bahwa sumber hukum
dalam arti formal sebagai sumber berasalnya kekuatan mengikat dan validitas. Hukum yang
dalam formulasi-formulasi tekstual yang berupa dokumen-dokumen resmi adalah sumber
hukum dalam arti formal.
Sumber hukum dalam arti formal ini secara umum dapat dibedakan menjadi:
1. Undang-undang (statute)
2. Kebiasaan dan adat (custom)
3. Traktat (treaty) atau perjanjian atau konvensi internasional.
4. Yurisprudensi (case law, judge made law)
5. Pendapat ahli hukum terkenal (doctrine).
Dalam mempelajari sumber hukum formal ini, sering kali lupa bahwa masih ada
sumber hukum penting, khususnya di bidang hukum tata negara di samping sumber hukum
formal di atas, yaitu proklamasi dan revolusi kemerdekaan, coup d’etat yang berhasil,
takluknya suatu negara kepada negara lain.
Menarik untuk dikaji lebih mendalam adalah perbedaan sumber hukum yang dianut
oleh dua sistem hukum besar dunia. Kedua sistem tersebut adalah sistem civil law dan
sistem common law. Sumber-sumber hukum di negara-negara penganut sistem common
law hanya yurisprudensi (judge made law di Inggris, case law di AS) dan perundang-
undangan (statute law). Sementara itu di negara-negara penganut sistem civil law sumber
hukum dalam arti formilnya berupa peraturan-perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan
dan yurisprudensi.
Secara spesifik di Indonesia, Pasal 2 Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU P3) menyebutkan “Pancasila merupakan sumber segala
sumber hukum negara”. Maksudnya adalah bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus
dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3 disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-
undangan di Indonesia terdiri atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dilanjutkan dalam Pasal 8 ayat (1) UU P3 bahwa Jenis Peraturan Perundang-
undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Keberadaan peraturan Perundang-undangan tersebut di atas diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8
ayat (2) UU P3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar